Kamis, 21 Oktober 2010

Kecelakaan Bandung Air Show 2010

Pesawat Super Decalthon itu terbang rendah


Mulai membalik


Kami bertepuk tangan


Sayap pesawat menyentuh tanah


Serasa mimpi

Saya berada di lokasi pameran Bandung Air Show – tepat di depan runway - ketika peristiwa kecelakaan yang menimpa pilot kawakan Alexander Supelli terjadi. Serasa mimpi ketika melihat pesawat yang terbalik menyentuh tanah, terbanting dan terbakar beberapa detik kemudian.

Saya hanya bisa memandang setengah tak percaya, ketika asap tebal hitam membumbung. Hati saya tergerak untuk mendekati kerumunan tapi saya membawa anak-anak; sepertinya tak mungkin saya meninggalkan mereka. Saya hanya berdiri saja di tempat saya sambil berharap-harap cemas supaya pilotnya selamat (yang sepertinya tak mungkin karena melihat bumbungan api dan asap yang begitu tinggi – ternyata keajaiban masih ada, Pak Alexander Supelli selamat). Dua detik, 5 detik, 10 detik…. Tak ada pemadam kebakaran. Saya mulai jengkel. Beberapa awak TNI AU dan Lanud Husein sudah berlari ke arah peristiwa kecelakaan, dan mereka sudah sampai ke lokasi (melewati rumput yang basah dan tanah becek). Mana foam yang dibutuhkan untuk memadamkan api? Ow… 10 detik kemudian, pemadam kebakaran datang dari sisi kanan penonton. Jalannya lambat seperti angkutan yang mencari penumpang!! OMG!!

Tik tok tik tok, akhirnya pemadam kebakaran sampai ke lokasi kecelakaan. Menyemprotkan air (bukan foam ya? Kalau kebakaran aviasi bukannya harus disiram foam?) Eh… dan baru teringat bahwa terdapat sejumlah helikopter bersarana evakuasi di lokasi pameran. Kenapa korban tidak dievakuasi menggunakan helikopter? (Oh iya ya, Rumah Sakit di Bandung yang memiliki heli pad cuma RS Santosa dan Borromeus – swasta loh – memalukan, pak Alex dilarikan ke RSHS). Penonton masih berkerumun di dekat batasan pameran, saya keburu jengkel. Jengkel, khawatir, dan shock. Jengkel karena seharusnya pertolongan datang 10 detik yang lalu. Khawatir, karena takut pilotnya tak selamat karena human error. Shock karena tak setiap hari saya liat pesawat jatuh dan terbakar di depan mata. Benar-benar perasaan yang gado-gado.

Apa ada yang salah dengan sistem emergensi dan evakuasi di Indonesia?

(Retoris)

Pada peristiwa jatuhnya pesawat Pak Alex, (konon) ada dua mobil pemadam kebakaran (saya tak bisa melihat yang satunya lagi, karena saya berada di sisi penonton, sangat jauh dari posisi peristiwa). Satu mobil stand by di hangar belakang runway, dan yang satunya lagi (ternyata) berada sekitar 300 meter dari lokasi kejadian. Tak ada penonton di runway. Mobil pemadam yang berjarak 300 meter itu bisa ngebut setengah mati tanpa melukai siapapun, menyelamatkan 5 detik dari penderitaan pak Alex (yang mengalami luka bakar cukup parah), dan memadamkan api dengan segera, karena satu mobil pemadam saja tidaklah cukup. Namun mereka melaju lambat sekali, lambaaaaaat untuk ukuran emergensi yang sedemikian rupa.

Saya adalah Pramuka - seperti marinir, tak ada istilah “mantan” untuk Pramuka - para Pramuka (yang jaman dahulu ya, entah kalau sekarang - sejak DPR membuat studi banding Pramuka yang keliatan seperti alasan untuk jalan-jalan ke luar negeri - saya jadi ragu apa para Pramuka di millenium ini masih bisa difungsikan sebagai aparat Palang Merah) harus bereaksi cepat dan menolong korban melalui serangkaian teknik yang ditanamkan kuat-kuat, siang dan malam, dihafal di luar kepala. Para Pramuka dulu bercita-cita menjadi petugas Palang Merah, BASARNAS, dan petugas pemadam kebakaran. Kemana para anggota Pramuka yang dulu bersama-sama saya membuat brankar, melakukan simulasi pertolongan pertama, dan simulasi evakuasi? Apakah mereka sudah menjadi para aparat pemadam kebakaran yang tangguh, tapi tak pernah diberi kesempatan dan fasilitas? Ataukah para anggota pemadam kebakaran Lanud Husein itu sebenarnya hanya orang-orang yang asal direkrut saja, diberi pelatihan sekenanya, dan kemudian disuruh stand by dan makan gaji buta? Apa sudah tak ada empati dari para petugas emergensi dan evakuasi?

Ketika api sudah padam dan pak Alex sudah dievakuasi, saja jadi terdiam dan berpikir. Shocknya masih terasa sampai tadi malam. Foto-foto kebakaran yang saya miliki terhapus karena kamera habis baterai. Jengkel berlanjut ketika melihat berita-berita ngawur di TV. Pemberitaan media TV yang simpang siur dan tidak akurat sudah menyesatkan masyarakat (jadi ketahuan kalau pemberitaan TV banyak yang ngawur setelah saya melihat sendiri peristiwanya), plus lagi sistem emergensi di Lanud Husein Sastranegara yang busuk luar biasa (janganlah buat saya bersimulasi andaikan kecelakaan pesawat itu terjadi sambil menimpa penonton), dan ditambah lagi dengan kekhawatiran mengenai sang pilot - yang masih ada sampai sekarang.

Tadi malam anak saya berkata bahwa dia bercita-cita membuat pameran Kendaraan yang termegah di seluruh Indonesia. Atraksi udara dan darat juga termasuk di dalamnya. Saya berkata padanya bahwa niat yang demikian harus dijalankan dengan semua petugas emergensi dan evakuasi telah terlatih dengan baik.

Bersiap menghadapi kecelakaan bukan berarti mengharap akan ada kecelakaan. Shit happens. Semoga Pak Alexander Supelli cepat pulih kembali – benar-benar Bandung Air Show yang tak terlupakan.


Persembahan untuk Ulang Tahun Bandung yang ke-200.

sumber:http://regional.kompasiana.com/2010/09/25/bandung-air-show-2010-kecelakaan-vs-emergensi/

Video Jatuhnya Pesawat: